Langsung ke konten utama

Cerpen Inspirasi "IBU YANG TAK KENAL LELAH"

IBU YANG TAK KENAL LELAH

Mentari pagi menyapa seakan mengusir embun yang betah rebahan di pucuk rumput lalang yang tumbuh di kebun sunyi itu. Tak jauh dari situ seorang ibu petani yang kurus mengayuh cangkul sejajar mengiris akar lalang yang berdandan dan meliuk-liuk ke batang kopi. Sesekali ia meludahi telapak tangannya dan menggosokkannya ke telapak sebelahnya dan memegang erat kayu cangkul itu.

Rumput lalang sudah tinggi karena pada saat musim hujan, rumput ini tumbuh subur sementara sudah sebulan mereka tidak ke kebun karena sibuk mengurus tanaman padi. Ibu tua itu memang tidak sendiri. Ia bersama anak laki-laki bungsunya yang duduk menghayal bagai sipungguk merindukan bulan memandang ibunya yang sudah bekerja padahal masih pagi sekali. Anak itu memang tidak sekuat anak petani lainnya. Ia baru tamat SMA. Selepas tamat, ia ingin kuliah tapi niatnya diurungkan sebab belum ada uang untuk biaya kuliah minimal biaya di awal semester. Akhirnya ia menganggur dan membantu ibunya ke ladang.

“Kalau nanti kopi ini panen, kamu bisa sekolah tinggi” ucap omak (mama) sembari menghela nafas.

“Masih lama panen, omak jangan terlalu banyak khayalan” sahut anak itu dengan wajah murung. 

Maklum ia tadi masih ngantuk tapi sudah diajak bergegas berangkat ke kebun yang jaraknya sekitar sepuluh kilometer itu. Mereka tadi berangkat dengan motor butut buatan Cina, motor yang sangat berjasa dalam kehidupan keluarga itu.

“Kalau saya tau bawa motor, kau tidak perlu repot antar saya ke kebun”, timpal omak

“Pulanglah kau ke rumah, nanti kulitmu jadi keriputan seperti omakmu ini. Tapi jangan lupa nanti sekitar jam 6 datanglah menjemputku” katanya lagi.

Anak itu terdiam, dia seakan menyadari bahwa apa yang diucapkan mama nya tanda kepedulian kepadanya. Tapi dia juga tak tega pergi pulang sebab nanti hanya membuang-buang minyak motor saja karena toh nanti akan kembali menjemput mama nya.

“Kenapa aku mesti pulang, uang yang kita dapat hari ini belum tentu bisa membeli minyak bensin motor” sahut anak itu.

“Kau memang pintar dan penuh perhitungan, kalau begitu gantilah bajumu lalu ambillah cangkulmu. Nanti kalau sudah cepat selesai, kita akan cepat pulang” kata omak lagi.

Anak itu pun beranjak dari tempat duduknya sambil menuju sebuah sopo-sopo (gubuk) papan yang reot peninggalan ayahnya. Disitu tersimpan alat-alat pertanian dan juga pakaian ganti yang biasa dipakai untuk bekerja di kebun. Dalam benaknya, pekerjaan ini akan cepat selesai dan kami akan segera pulang. Ia pun semangat sambil mengangkat cangkul menuju ke lahan kopi yang ingin disiangi.

“Cuma ini yang kita bersihkan rumputnya kan omak?” Tanya anak itu sambil menunjuk lahan kopi yang mereka kerjakan.

“Iya Cuma ini, bagus kau bikin ya, jangan kau tanam rumputnya tapi harus tercangkul hingga ke akarnya” sahut omak nya.

Anak itu memang kurang pengalaman menyiangi rumput dengan cangkul, dia terkadang melewatkan beberapa jengkal seolah sudah tercangkul padahal tertanam rumput lainnya. Tapi dengan semampunya ia berusaha membantu omak nya.

Ibu tua itu memang tak hanya menanam kopi, ia juga menanam padi sawah di sekitar area kebun kopi itu. Kopi yang mereka tanam baru berumur enam bulan, jadi kalau rumputnya tidak disiangi, maka pertumbuhannya akan terhambat dan tidak berbuah banyak.

Sementara kopi belum panen, sumber penghasilan keluarga itu memang sangat minim. Di sela-sela kopi ditanam sebedeng sayur sawi, sayur kangkung dan juga kacang panjang. Adapula beberapa batang tanaman cabai rawit yang diselipkan di celah-celah kopi. Hasil penjualannya cukup untuk membeli sekilo ikan asin termurah atau tahu tempe yang merupakan makanan favorit anak bungsunya. Adapun padi, jika hasilnya bagus hanya cukup untuk stok beras untuk menunggu panen berikutnya. Setengah bahkan tiga perempat dari hasil padi itu akan diberikan kepada tuan takur atau istilah tuan tanah sebagai biaya sewa.

Hari itu memang mentari sangat menusuk kulit. Berbekal minuman kopi dalam wadah botol minuman mineral bekas, ibu dari 10 anak itu tak henti-hentinya menyiangi tanaman sigarar utang (pembayar utang) sebutan untuk tanaman kopi di daerah itu. Tanaman kopi saat itu merupakan tanaman berharga karena dapat dipanen setiap minggu. Biasanya sebelum panen tiba, segala kebutuhan baik untuk adat, kebutuhan rumah tangga, biaya sekolah anak-anak dan lain-lain sudah dipinjam dari orang lain. Jadi setiap panen, hasil kopi digunakan untuk memnutupi utang-utang itu, makanya disebut sebagai kopi sigarar utang.

Di tengah-tengah sibuk mencangkul rumput di lahan kopi, kicau burung menemani keheningan di kebun kecil di siang hari itu. Ibu tua dan 10 anaknya itu sudah lebih dua dekade ditinggal oleh sang ayah. Semenjak ayahnya pergi, ibu tua itu mengais rejeki di sepetak tanah milik orang lain (tergadai). Anaknya memang sudah besar-besar. Hanya dua orang anak bungsu laki-laki dan perempuan yang tinggal bersamanya. Selainnya pergi merantau.

Hari mulai siang, anaknya mulai kelelahan sementara si ibu masih melanjutkan pekerjaannya.

“Istirahat dulu omak, udah capek” pinta anak itu sambil berteduh di bawah pohon jambu yang tak jauh di kebun itu

“Istirahatlah, aku masih belum capek” sahut mama nya dengan nafas yang sudah sedikit ngos-ngosan. 

“Omak kenapa gak capek-capek, padahal aku masih beberapa meter udah capek sekali” sambung anak itu. Ia seakan tak percaya kalau ibunya belum capek.

“Iya betul aku belum capek, nanti sekitar satu jam lagi baru aku istirahat sambil makan” jawab omak nya.

“Kalau begitu aku juga kerja lagi, nanti sama-sama kita istirahat”, kata anak itu sambil bergerak menuju barisan lanjutan bagian pekerjaannya. Ia seakan tak terima kalau ia kalah dari ibunya yang sudah tua, padahal ia masih muda sudah capek.

“Jangan dipaksa, omak sudah biasa dari kecil begini makanya gak capek” kata omak nya seakan menyuruh anaknya istirahat saja.

“Barusan juga udah kuminum kopi, makanya aku belum capek” lanjutnya.

Namun anak itu diam saja sambil mengayuh cangkulnya kembali. Di tengah-tengah kayuhan cangkulnya, ia berhenti dan berdiri sambil mengusap keringat dengan wajah yang gersang terpapar radiasi matahari. Ia memandangi ibunya yang sudah berusia lebih kepala enam tapi masih tegap membongkar rumput-rumput lalang itu dengan cepat dari akarnya, rapih dan bersih pula. Ia mencoba mengikuti jejak mamanya, tapi kali ini ia tidak sanggup lagi. Ia melemparkan cangkul itu dan pergi berteduh kembali. Ia daritadi menunggu agar ibunya mengajak istirahat ternyata ibunya belum capek sama sekali.

“Aku udah lapar, ayok makan omak!” kata anak itu dengan nada ringkih.

Ibu nya seperti tak mau dianggap egois, akhirnya menerima tawaran anaknya untuk makan dulu.

“Ayo lah kalau begitu, cuci lah tanganmu dan pergilah duluan ke sopo-sopo (gubuk) dan bakarlah ikan asin itu!” sahut ibu nya.

Anak itu bergerak menuju pematang sawah yang tak jauh dari area kebun kopi mereka dan mencuci tangan sambil membawa air dalam ember lalu berjalan menuju ke gubuk yang jaraknya sekitar 50 langkah saja. Diambilnya ranting-ranting kayu dan membuat perapian di samping gubuknya. Sesekali ia meniup-niup api itu hingga asap putih membubung tinggi di area kebun itu. Setelah ada bara, ia meletakkan ikan asin yang sudah dibwa tadi. Ikan itu adalah sejenis ikan asin kepala batu. Ikan yang dibeli setiap hari Sabtu (hari pekan) untuk lauk selama seminggu.

“Udah masak ikannya omak, datanglah” seru anak itu dengan mata berlinang terpapar asap.

“Ayo lah omak, kesinilah omak!” sambungnya sambil bersungut-sungut.

Ternyata ibu nya masih dengan semangat melahap pekerjaanya. Semenit pun dimanfaatkannya untuk mencangkul rumput itu.

“Iya, aku datang” sahut omak sambil memotong sehelai daun pisang.

Ia berjalan hendak mencuci tangan di ember yang dibawa anaknya.

“Untuk apa daun pisangnya omak?” Tanya anak itu

“Aku tidak bawa piring, pakai ini saja kita makan” jawab omak nya.

“Oh iya, kalau begitu kita letakkan di tanah yang rata ini saja omak” katanya sambil mengarahkan ibunya ke tanah rata di sekitar sopo-sopo itu.

Anaknya membuka rantang makanan yang telah diisi dari rumah tadi. Nasi dalam satu baskom disendoknya ke daun pisang. Ibu nya juga melakukan hal yang sama, hanya saja si ibu menyendok nasi sedikit saja karena memang beliau sangat tidak kuat makan.

“Kok sedikit nasimu, oma?” Tanya anak itu

“Udah cukup, nanti biar ada samamu kalau kau lapar lagi” jawab omaknya

“Omak udah banyak bekerja, tapi makan juga sedikit, nanti omak bisa sakit” sambung anak itu lagi

“Tenang saja, tenagaku masih kuat kalau ada kopi” tutup omak sambil bergegas menyantap nasinya seperti tentara yang ingin berperang.

Mereka berdua melahap makanan itu dengan ikan asin bakar yang masih hangat dipadu dengan menggigit cabai rawit mentah yang bisa dipetik langsung karena tumbuh di sekitar gubuk itu.

Makanan mereka sangatlah sederhana. Jadi wajarlah mereka kurus. Merasakan makanan enak seperti daging hanyalah di waktu-waktu tertentu saja misalnya ketika ibu nya pergi ke pesta dan membawa sedikit sisa makanannya. 

Tidak sampai 5 menit, omak sudah habis menyantap makanannya.

“Aku lanjut kerja dulu ya, kalau mau istirahat istirahat saja, jangan ikuti aku” kata omak sambil meneguk kopi dari gelas mineral tadi.

Sementara anaknya masih menikmati makanan karena memang nasinya lebih banyak daripada ibunya.

“Jangan buru-buru omak, duduk dulu tunggu nasi yang kau makan turun” kata anak itu

“Udahlah, tidak apa-apa” kata omak lagi menimpali.

Si anak itu tak mampu menahan ibunya untuk beristirahat sejenak. Selepas makan dan istirahat sejenak, anak itu menghampiri ibunya yang telah mencangkul hampir lima kali lipat dari yang dikerjakannya. Ia sadar bahwa ibunya adalah sosok pekerja keras dan tak kenal lelah. Ia hanya berharap ibunya sehat selalu hingga ia sukses di hari depan.

Setahun berlalu, kopi itu berbuah dengan subur. Anaknya yang dulunya menganggur kini telah diberi harapan oleh ibu nya untuk mengikuti seleksi perguruan tinggi. Dengan rasa percaya diri, anak itu mengikuti SNMPTN di kota Medan. Singkat cerita, anak itu lulus dan berhak untuk kuliah di PTN. Ibunya merasa terharu dengan perjuangan anaknya dan menganggap hasil kopi itu juga sebagai rejeki dari Tuhan karena tanpa tanaman itu mungkin keuangan untuk membayar uang pertama kuliah tidak akan cukup. Walaupun memang masih memerlukan tambahan uang dengan cara meminjam, tapi dengan hasil kopi, pinjaman jadi terasa ringan karena bisa dibayar setiap panen seminggu sekali.

Selama menjalani kuliah, anak itu juga dapat beasiswa dan hasil kopi juga menjanjikan harganya. Jadi ia bisa menyelesaikan kuliahnya dalam tempo empat tahun. Dalam catatan diary nya, anak itu menangis terharu dengan perjuangan ibunya. Dia merasa kalau tidak punya ibu yang pekerja keras, mungkin dia tidak akan bisa kuliah dan hanya maksimal tamat SMA seperti kakak dan abangnya. Dia teringat pepatah yang mengatakan “Dimana ada kemauan, di situ pasti ada jalan”. Dan dalam bait doa nya ia berkata, “Semoga Tuhan menyertai Ibu, Ibu yang tak kenal lelah demi anak-anaknya”. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menentukan Letak Astronomis suatu Wilayah pada Peta

Letak atau Lokasi suatu wilayah berdasarkan lintang dan bujur disebut dengan letak astronomis. Garis Lintang 0 0 disebut dengan garis Khatulistiwa (equator) yang membagi bumi menjadi bagian utara yang disebut dengan Lintang Utara (LU) dan bagian selatan yang disebut dengan Lintang Selatan (LS). Garis lintang menjadi dasar pembagian iklim yang didasarkan pada sudut datang matahari, sedangkan garis bujur 0 0 yang berada di kota Greenwich membagi belahan bumi menjadi belahan bumi Barat yang dikenal dengan Bujur Barat (BB) dan belahan bumi Timur yang dikenal dengan Bujur Timur (BT). Garis bujur 0 0 yang dipergunakan sebagai dasar pembagian waktu di berbagai wilayah (negara). Garis lintang dan bujur merupakan garis khayal artinya kita tidak menjumpai garis ini secara nyata di bumi. Garis Lintang kenampakannya horizontal, sedangkan Garis Bujur kenampakannya vertikal pada peta atau globe. Berdasarkan konsep Geografi, letak/lokasi terbagi dua yaitu letak absolut dan letak relat

Mengubah Skala Garis Menjadi Skala Angka

Topik tentang skala merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sebuah peta. Gambaran permukaan bumi yang relatif luas dapat digambarkan di sebidang kertas karena diperkecil dengan menggunakan skala tertentu, tergantung berapa kali luas yang sebenarnya diperkecil dan seberapa besar peta yang akan digambar. Semakin kecil peta yang akan digambarkan maka skalanya akan semakin besar, demikian sebaliknya. Misalnya sebuah peta X yang akan diperkecil 4x skala nya akan lebih besar dibandingkan peta yang diperkecil 2x. Skala adalah perbandingan jarak di peta dengan jarak sebenarnya/sesungguhnya di lapangan. Jadi dapat dirumuskan sebagai berikut : Untuk mencari jarak sebenarnya (JS) jika diketahui jarak pada peta (JP) dan skala (SK) adalah jarak pada peta dikali dengan penyebut skala. JS = JP x SK sedangkan mencari jarak pada peta (JP)  jika diketahui jarak sebenarnya(JS) dan skala (SK) adalah jarak sebenarnya dibagi penyebut skala. JP = JS/SK Skala yang sering dijumpai pada peta a

Menentukan Perbedaan Waktu antar Wilayah di Muka Bumi

Salam Geografi!! Saudara sekalian pasti pernah menonton siaran bola liga Inggris, Liga Spanyol atau Liga Eropa lainnya pada saat malam atau dini hari bukan?. Nah kalau kita bayangkan mengapa mereka main bola saat malam larut atau disaat kita di Indonesia sudah tertidur. Tentunya sebagai orang yang telah mempelajari geografi, tidak akan merasa heran lagi atau sudah memahami mengapa demikian. Bagi orang awam mungkin saja mereka berpikiran kalau memang pertandingan itu memang dilaksanakan pada jam saat menonton di Indonesia, padahal mereka itu main bola pada saat sore hari atau bukan larut malam. Dasar teorinya adalah Eropa berada pada belahan bumi Barat, sedangkan Indonesia berada pada belahan bumi Timur. Sehingga kalau di Indonesia malam hari, kemungkinan di Eropa Siang hari, demikian sebaliknya. Pada Postingan sebelumnya yaitu "menentukan letak astronomis suatu wilayah pada peta", telah disinggung mengenai garis lintang dan bujur.  Garis bujur menjadi dasar pembe